Rabu, 14 September 2011

SEJARAH BANGSA SUNDA

...:::SEKILAS SEJARAH SUNDA:::...


Berdasarkan
data dan penelitian arkeologis, Tanah Sunda telah dihuni oleh
masyarakat Sunda secara sosial sejak lama sebelum Tarikh Masehi. Situs
purbakala di Ciampe’a (Bogor), Klapa Dua (Jakarta), dataran tinggi
Bandung dan Cangkuang (Garut) memberi bukti dan informasi bahwa
lokasi-lokasi tersebut telah ditempati oleh kelompok masyarakat yang
memiliki sistem kepercayaan, organisasi sosial, sistem mata
pencaharian, pola pemukiman, dan lain sebagainya sebagaimana layaknya
kehidupan masyarakat manusia betapapun sederhananya.

Era
sejarah di Tanah Sunda baru dimulai pada pertengahan abad ke-5 seiring
dengan dibuatnya dokumen tertulis berupa beberapa buah prasasti yang
dipahat pada batu dengan menggunakan Bahasa Sansekerta dan Aksara
Pallawa. Prasasti-prasasti itu yang ditemukan di daerah Bogor, Bekasi
dan Pandeglang dibuat pada zaman Kerajaan Tarumanagara dengan salah
seorang rajanya bernama Purnawarman dan ibukotanya terletak di daerah
Bekasi sekarang. Pada masa itu sampai abad ke-7, sistem kerajaan
sebagai merupakan pemerintahan, Agama Hindu sebagai agama resmi negara,
sistem kasta sebagai bentuk stratifikasi sosial, dan hubungan antar
negara telah mulai terwujud, walaupun masih dalam tahap awal dan
terbatas.

Sriwijaya di Sumatera, India dan Cina merupakan
negeri luar yang menjalin hubungan dengan kerajaan Tarumanagara, tetapi
kebudayaan Hindu dari India yang dominan dan berpengaruh di sini. Sunda
sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul pada abad ke-8 sebagai
lanjutan atau penerus Kerajaan Tarumanagara. Pusat kerajaannya berada
di sekitar Bogor sekarang.

Paling tidak, ada tiga macam sumber
yang menyebut Sunda sebagai nama kerajaan. Pertama, dua buah prasasti
(Bogor dan Sukabumi); kedua, beberapa buah berita orang Portugis
(1513,1522,1527); dan ketiga, beberapa buah naskah lama (Carita
Parahiyangan, Sanghyang Siksa Kanda’ng Karesian). Ibu kota Kerajaan
Sunda dinamai Pakuan Pajajaran.

Dalam tradisi lisan dan naskah
sesudah abad ke-17, Pakuan biasa disebut untuk nama ibukota, sedangkan
Pajajaran untuk menyebutkan kerajaan. Kerajaan ini hidup kira-kira 6
abad, karena runtuhnya sekitar tahun 1579. Pernah mengalami masa
kejayaan yang antara lain ditandai dengan luas wilayah yang meliputi
seluruh Tatar Sunda, kesejahteraan rakyat tinggi, keamanan stabil,
hubungan dengan dunia luar (Majapahit, Portugis, Sriwijaya) berjalan
baik. Dikenal ada dua raja termasyhur kebesarannya (Prabu Niskala
Wastukancana dan Sri Baduga Maharaja). Ibukotanya pernah berada di
Kawali, Galuh. Pada masa pemerintahan Prabu Maharaja (1350-1352)
terjadi konflik dengan Majapahit, karena masalah pernikahan puteri
Sunda dengan raja Majapahit Hayam Wuruk. Pada masa pemerintahan Sri
Baduga Maharaja (1482-1521) dan puteranya, Prabu Surawisesa,
(1521-1535) terjalin hubungan kerjasama ekonomi dan keamanan antara
kerajaan Pajajaran dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka.

Dari
kerajaan ini dihasilkan beras dan lada yang banyak sehingga bisa
diekspor. Kota pelabuhan yang besar antara lain Banten, Kalapa (Jakarta
sekarang), dan Cirebon. Sistem ladang merupakan cara bertani rakyatnya.
Ada jalan raya darat yang menghubungkan ibukota kerajaan dengan Banten
di sebelah barat, Kalapa disebelah utara, serta Cirebon dan Galuh di
sebelah timur. Dari daerah pedalaman ke pesisir utara dihubungkan
dengan jalur lalulintas sungai dan jalan menyusuri pantai.

Para
pedagang Islam sudah berdatangan ke kota-kota pelabuhan Kerajaan Sunda
untuk berdagang dan memperkenalkan agama Islam. Lama kelamaan para
pedagang Islam bermukim di kota-kota pelabuhan Sunda, terutama di
Banten, Karawang, dan Cirebon kemudian penduduk setempat banyak yang
mengnanut Agama Islam. Bberkat dukungan Kesultanan Demak, berdirilah
kekuasaan Islam di Cirebon dan Banten yang dalam perkembangan
selanjutnya mendesak kekuasaan Kerajaan Sunda sampai akhirnya
menumbangkannya sama sekali (1579). Sementara di daerah pesisir
berkembang kekuasaan Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten.
Sedangkan di daerah pedalaman muncul kabupaten-kabupaten yang
masing-masing berdiri sendiri, yaitu: Sumedang, Galuh, Sukapura,
Limbangan, Parakanmuncang, Bandung, Batulayang, dan Cianjur.

Periode
selanjutnya (sejak abad ke-17) Sejarah Sunda mengalami babak baru,
karena dari arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) masuk kekuasaan
Kompeni Belanda (sejak 1610) dan dari arah pedalaman sebelah timur
masuk kekuasaan Mataram (sejak 1625). Secara perlahan-lahan tetapi
pasti akhirnya seluruh Tanah Sunda jatuh ke genggaman kekuasaan Belanda
(sejak awal abad ke-19), karena itu mulailah zaman kekuasaan kolonial
Hindia Belanda.

Pada masa ini masyarakat dan Tanah Sunda
dieksploitasi oleh kaum kolonial, mula-mula dengan menggunakan cara
penyerahan wajib hasil bumi tanaman ekspor (lada, nila, kopi) dan kerja
paksa (rodi) yang dikenal dengan sebutan Sistem Priangan (Preanger
Stelsel); kemudian sejak tahun 1871 melalui cara penanaman modal swasta
dengan membuka macam-macam perkebunan (teh,karet,kina), perdagangan,
industri, pelayaran, pertambangan, dan lain-lain yang tenaga kerjanya
(tenaga kerja murah ) diambil dari masyarakat pribumi; model
eksploitasi ini dikenal dengan sebutan Sistem Imprealisme.

Tanah
Sunda yang subur dan orang-orangnya yang rajin bekerja menjadikan
pengeksploitasian tersebut sangat menguntungkan penguasa kolonial
sehingga membawa kemakmuran yang luar biasa bagi mereka yang tinggal di
sini dan yang berada di tanah leluhur mereka (Belanda). Sebaliknya
rakyat pribumi tidak mengecap keuntungan yang setimpal dengan tenaga
dan jasa yang diberikan, bahkan banyak yang hidupnya menderita; kecuali
sekelompok masyarakat kecil yang dekat dan bekerjasama dengan penguasa
kolonial yang biasa disebut kaum Menak.

Pada sisi lain
masuknya penjajahan itu menimbulkan ketidakpuasan dan bahkan
penentangan sebagian masyarakat. Dibawah beberapa orang pemimpinnya
timbullah serangkaian perlawanan dan pemberontakan rakyat, seperti,
yang dipimpin oleh Dipati Ukur di Priangan (1628-1632), Sultan Ageng
Tirtayasa dan Pangeran Purbaya di Banten (1659-1683), Prawatasari di
Priangan (1705-1708), Kiai Tapa dan Bagus Buang di Banten (1750-1752),
Bagus Rangin (1802-1818) Kiai Hasan Maulani di Kuningan (1842), Kiai
Washid di Banten (1888), Kiai Hasan Arif di Garut (1918).

Ketidakpuasan
masyarakat terus berlanjut, walaupun penguasa kolonial mengupayakan
perbaikan kehidupan masyarakat melalui program pendidikan, pertanian,
perkreditan, dan juga menerapkan sistem otonomi bagi pemerintahan
pribumi. Sejak awal abad ke-20 muncul gerakan penentang sosial dan
organisasi politik seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Paguyuban
Pasundan dan Partai Nasional Indonesia.

Melalui pendudukan
Militer Jepang (1942-1945) yang menumbangkan kekuasaan kolonial Hindia
Belanda (menyerah di Kalijati, Subang tanggal 8 Maret 1942) dan
menumbuhkan keberanian di kalangan orang pribumi untuk melawan
kekuasaan asing dan memberi bekal ketrampilan berperang; pada tahun
1945 masyarakat Sunda, umumnya masyarakat Indonesia, berhasil mencapai
dan mempertahankan kemerdekaan. Sejak itu masyarakat dan tanah Sunda
berada dalam lingkungan negara Republik Indonesia.

Seiring
bergulirnya perobahan sistem pemerintahan yang tadinya
unitaristik-sentralistik menjadi otonomi-desentralistik, maka kini
saatnyalah bagi Masyarakat Sunda untuk membuktikan kesungguhan
perjuangannya dalam mewujudkan Tatar Sunda anu Tata-Tengtrem Karta
Harja sebagai kontribusi Ki Sunda kepada negara Republik Indonesia.

Kenyataan
lain, yaitu pemekaran Propinsi Jawa Barat dengan terbentuknya Propinsi
Banten. Walau demikian tetap saja kedua propinsi itu masih dalam ikatan
Tatar Sunda. Untuk terjalinnya ikatan batin yang kuat perlu ditumbuhkan
antara lain melalui kesadaran atas adanya kesamaan Religi (dalam hal
mayoritas Urang Sunda beragama Islam). Selain itu harus adanya
kesadaran akan nilai-nilai pandangan hidup yang Nyunda, kesadaran akan
alur sejarah Sunda yang tidak terputus serta kesadaran untuk memelihara
Bahasa Sunda dan bahasa dialek setempat agar tetap digunakan di setiap
keluarga Sunda.

Buku tentang Sejarah Sunda yang lebih rinci
bisa disimak antara lain Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa
Barat. 4 jilid - Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemda Tk I Jabar,
1983-1984.

Sumber: Ensiklopedi Sunda - Pustaka Jaya.
by : fikri muhammad zulfikar sastraiguna on facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar